PEMIKIRAN
PENDIDIKAN:
MUHAMMAD NATSIR Versus KH. AHMAD DAHLAN
Oleh: ZAIJONI
A. Pendahuluan
Suksesnya pendidikan di Indonesia tentunya
tidak pernah lepas dari peran para ulama. Sekian banyak ulama yang ada di
Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak, tentunya banyak pelajaran dan
hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya waktu, para ulama yang telah
berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan, bahkan ajaran mereka dan peran
sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda tak
sepatutnya melupakan jasa-jasa para ulama tersebut terutama di dalam bidang
pendidikan. Bahkan kita harus lebih giat lagi dalam meneruskan visi dan misi
mereka. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang perbandingan pemikiran
pendidikan oleh Muhammad Natsir dengan pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan.
Dalam makalah ini juga akan dipaparkan tentang
biografi kedua tokoh ini, serta pemikiran pendidikan oleh keduanya. Karena
begitu luasnya pembahasan ini maka pemakalah membatasinya dengan fokus kepada
tujuan pendidikan oleh kedua tokoh ini. Sebagai rumusannya adalah bagaimana
tujuan pendidikan Islam oleh Muhammad Natsir versus KH. Ahamad Dahlan.
B. Biografi Muhammad Natsir
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir,
Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jum’at 17 Jumadil
Akhir 1326 Hijriah bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Natsir adalah putra
dari Khadijah dan Mohammad Idris Sutan Saripado. Ia memiliki 3 orang saudara
kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, Yohanusun. Tanah kelahiran
Natsir sangat terbuka dengan model pendidikan Belanda, sehingga kesempatan ini
banyak dipergunakan oleh penduduk secara antusias, sehingga sekolah pada waktu
itu tidak dapat menampung animo masyakat untuk mengenyam pendidikan.
Riwayat pendidikan Muhammad Natsir dimulai di
sekolah Rakyat (SR) Maninjau Sumatra Barat hingga kelas dua. Ketika ayahnya
dipindah-tugaskan ke Bakeru, Natsir mendapat tawaran dari mamaknya, Ibrahim
untuk pindah ke Padang agar dapat menjadi siswa
di Holland Inlandse
School (HIS) Padang. Namun His Padang menolaknya
dikarenakan latar belakang Muhammad Natsir yang berasal dari anak pegawai
rendahan. Akan tetapi Natsir memasuki HIS Adabiyah (swasta) yang diperuntukkan
untuk anak-anak negeri selama lima
bulan.
Setelah ayahnya dipindah-tugaskan dari Bekeru
ke Alahan Panjang, Natsir dijemput untuk sekolah di HIS pemerintah yang berada
di Solok. Namun karena Solok cukup jauh dari Alahan Panjang, maka Natsir
terpaksa dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa.
Setelah belajar di HIS pada pagi hari, Natsir
juga belajar di sekolah diniyah pada waktu sore dan belajar mengaji pada malam
hari. Pada waktu itulah Natsir mulai belajar bahasa Arab. Setelah ia duduk di
kelas tiga sekolah diniyah, dia diminta untuk mengajar di kelas satu, mengingat
pada saat itu masih kekurangan guru. Atas pelaksanaan tugasnya itu, Natsir
memperoleh imbalan sebesar sepuluh ribu rupiah sebulan.
Namun saat itu datang pula kakaknya yang
mengajak pindah ke Padang.
Di HIS Padang itulah Natsir masuk kelas lima dan bersekolah di
situ selama tiga tahun hingga selesai. Setelah lulus dari HIS, Natsir
mengajukan permohonan untuk mendapat beasiswa dari MULO (Meer Uitgebreid Lager
Orderwijs) dan ternyata lamarannya itu diterima. Di MULO Padang inilah Natsir
mulai aktif dalam organisasi. Mula-mula ia masuk dalam Jong
Sumatranen Bond (Serikat Pemuda Sumatra) yang diketuai oleh Sanusi
Pane. Kemudian ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (Serikat
Pemuda Islam) dan disitupun Sanusi Pane aktif sebagi ketua dan menjadi anggota Pandu
Nationale Islamietische Pavinderij (Natipij), sejenis Pramuka
sekarang. Menurut Natsir organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkan
di sekolah, dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari
kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa
pada Muhammad Natsir.
Aktivitas Natsir semakin berkembang ketika ia
menjadi siswa di Algememe Midelbare School
(AMS) di Bandung.
Di kota inilah
ia mempelajari agama secara mendalam serta berkecimpung dalam bidang politik,
dakwah, dan pendidikan. Di tempat ini pula Natsir berjumpa dengan A. Hasan
(1887-1958), seorang tokoh pemikir radikal dan pendiri Persatuan Islam
(Persis). Natsir mengaku bahwa A. Hassan banyak mempengaruhi alam pikirannya.
Hal ini karena Muhammad Natsir tertarik pada kesederhanaan A. Hassan, juga
kerapihan kerja dan kealimannya.[1]
Minat dan perhatian Natsir terhadap persoalan
keislaman dan Kemasyarakatan menyebabkan Natsir menolak tiga kesempatan yang
ditawarkan kepadanya, yaitu melanjutkan ke fakultas ekonomi atau fakultas hukum
di Rotterdam, menjadi pegawai negeri dengan gaji besar sebagai hadiah atas
keberhasilannya menyelesaikan studi di AMS dengan nilai tinggi. Minat tersebut
direalisasikannya dengan aktif dalam bidang pendidikan secara luas yang
dirintisnya dengan melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan studi Islam
yang dilaksanakan oleh Persatuan Islam (Persis) di Bandung yang dimulai sejak
tahun 1927-1932 dibawah pimpinan A. Hassan.
Pada bulan Maret 1932 Persis menyelenggarakan
pertemuan kaum muslimin di Bandung
dengan mengangkat persoalan pendidikan bagi generasi muda Islam sebagai tema
sentralnya. Pertemuan itu melahirkan suatu perkumpulan yang diberi nama
Pendidikan Islam (Pendis) dengan program utamanya meningkatkan mutu pendidikan
melalui pembaharuan kurikulum, menanamkan ruh Islam pada setiap mata pelajaran
yang diajarkan kepada para siswa.[2]
Serta mengelola sistem pendidikan yang dapat
melahirkan lulusan yang memiliki kepribadian yang mandiri dan terampil. Untuk
mencapai tujuan tersebut di atas antara lain dilakukan melalui pendirian
sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak, HIS, MULO, pertukangan, perdagangan,
kursus-kursus, ceramah, dan lain sebagainya.[3]
Jejak M. Natsir dalam bidang pendidikan sudah
ada sebelum negeri ini merdeka. Ketika Indonesia berada di bawah jajahan
Jepang (1942-1945) seluruh partai Islam dibubarkan kecuali empat organisasi
islam yang tergabung dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yaitu; NU,
Muhammadiyah, PUI yang berpusat di Majalengka, dan PUII yang berpusat di
Sukabumi. Empat generasi tersebut kemudian tergabung dalam satu wadah, yaitu
MASJOEMI, penjelmaan baru MIAI. Pada 1945 Masjoemi mengadakan rapat yang
menghasilkan dua putusan penting, pertama, membentuk barisan mujahidin
dengan nama Hizbullah untuk berjuang melawan sekutu. Kedua, mendirikan
perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI), STI kemudian
hari menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Maksud berdirinya STI adalah untuk memberikan pendidikan tinggi tentang agama
Islam, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat di kemudian hari.
Dewan Ketua Kurator STI dijabat Mohammad Hatta
dan Natsir sebagai sekretarisnya. Rektor Magnificus oleh KH. A. Kahar Muzakkir
dan Natsir pula sebagai sekretarisnya, dan Prawoto Mangkusasmito sebagai wakil
sekretaris. Di samping menjabat sebagai sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam
(STI) di Jakarta, Pak Natsir, di kala itu, menjabat sebagai kepala biro pendidikan
Kodya Bandung. Pada tahun 1932-1942, beliau memimpin Lembaga Pendidikan Islam
(PENDIS)[4]
yang menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat
menjadi universitas terpandang di kota Bandung.
Setelah matang membangun Pendis, Natsir
mengarahkan andilnya untuk membangun perguruan Islam lainnya. Beliau melakukan
adanya koordinasi dan penyelarasan program pendidikan perguruan Islam bakal
melahirkan institusi pendidikan Islam yang memiliki keseragaman dasar dan
cita-cita.
Guna merealisasikan tujuannya ini, beliau
menyeru perguruan dan institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk
wadah bersama yang diberi nama Perikatan Perguruan-Perguruan Muslim (PERMUSI).
Beliau juga tercatat sebagai penggagas di balik berdirinya Badan Kerja Sama
Perguruan tinggi Islam Swasta (BKS PTIS) yang kini memiliki anggota lebih dari
500 PTIS se Indonesia. Dari gagasan Muhammad Natsir lahirlah kampus-kampus
Islam yang memiliki nama besar, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) di
Yogyakarta, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan, Universitas Islam
Bandung (UNISBA) di Bandung, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makasar,
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) di Semarang, Universitas Islam Riau
(UIR) di Riau, Universitas Al-Azhar Indonesia, dan LPDI Jakarta yang kini
menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Muhammad Natsir.[5]
Muhammad Natsir berpulang ke rahmatullah pada
tanggal 6 pebruari 1993 Masehi bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 Hijriah di rumah
sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta dalam usia 85 tahun dengan meninggalkan enam
orang anak dari pernikahannya dengan Nurhanar, yaitu; Siti Muchlisoh (20 Maret
1936), Abu Hanifah ( 29 April 1937), Asma Farida (17 Mei 1941). Hasnah Faizah
(5 Mei 1941), Aisyatul Asrah (20 Mei 1942), dan Ahmad Fauzi (26 April 1944).
Berbagai ungkapan belasungkawa muncul baik dari kawan seperjuangan maupun lawan
politiknya.[6]
C. Pemikiran Pendidikan Muhammad Natsir
1.
Tujuan
Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh
Mohammad Natsir adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta
mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.[7]
Selain itu bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan
keduanya. Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Tujuan
pendidikan Islam sama dengan tujuan kehidupan manusia, tujuan ini tercermin
dalam al Qur’an Surat Al-An’am: 162.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ
وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb
semesta alam’.” (QS. Al-An’am: 162)
Bagi Muhammad Natsir, fungsi tujuan pendidikan
adalah memperhambakan diri kepada Allah SWT semata yang bisa mendatangkan
kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini juga yang disimpulkan oleh Abuddin Nata,
tentang tujuan pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam
ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya
kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu
sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya
kepada Allah semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus
mengarah ke sana, di antaranya adalah pendidikan.
Firman
Allah SWT:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila
manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti ia telah
berada dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia dan membahagiakan
di akhirat. Menurut Natsir dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya
mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai
khalifah di muka bumi.[8]
Perkataan menyembah-Ku
sebagaimana terdapat dalam potongan surat adz-Dzariyat tersebut di atas menurut
Natsir memiliki arti yang sangat dalam dan luas, lebih luas dan dalam dari
perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan gunakan setiap hari.
”Menyembah Allah” itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua
perintah Ilahi yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan di akhirat,
serta menjauhkan diri dari segala larangan yang menghalangi tercapainya
kemenangan di dunia dan di akhirat itu.[9]
Selain itu, Muhammad Natsir sangat konsen
terhadap Pendidikan anak dalam Islam, sesuai yang dipahami Natsir, pada
dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak (orang tua). Hukumnya fardhu
‘ain, karena anak, dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi
keduanya yang harus dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas
anak-anak mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
(QS. At-Tahrim: 6)
Menurut Muhammad Natsir, maksud ayat ini
adalah: “harus
kita berikan kepada anak dan istri kita didikan yang memeliharanya dari
kesesatan dan memberi keselamatan kepadanya di dunia dan akhirat.
Sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Tiada seorang bayipun yang lahir melainkan dilahirkan
di atas fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi,
atau Nashrani.” (HR. Bukhari)
Mengurus pendidikan anak-anak orang Islam bukan
hanya menjadi fardhu ‘ain bagi orang tuanya, tapi
juga menjadi fardhu kifayah bagi tiap-tiap
anggota dalam sebuah masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali
Imran: 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah
orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran: 104)
Kaum muslimin wajib mengadakan satu kelompok
yang mengadakan pendidikan untuk anak-anak orang Islam, supaya pendidikan
mereka tidak digarap oleh orang-orang yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak
seiman, dan tidak seagama. hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ
يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِهِمْ
“Sebagian
besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri”. (QS. Al-Baqarah: 109)
2.
Kurikulum
Pendidikan Islam
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan
pendidikan Islam tersebut menurut pandangan Mohammad Natsir semestinya
kurikulum pendidikan dapat disusun dan dikembangkan secara integral dengan
mempertimbangkan kebutuhan umum dan kebutuhan khusus sesuai dengan potensi yang
dimiliki oleh peserta didik, sehingga akan tertanam sikap kemandirian bagi
setiap peserta didik dalam menyikapi realitas kehidupannya. Beliau sangat tegas
menolak teori dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Makanya beliau menampik pemisahan pendidikan agama dan pendidikan umum.
Dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah teori yang lahir dari rahim
sekularisme. Hal ini tentunya sesuai dengan pandangan al-Qur’an tentang
manusia. Bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani,
fisik dan jiwa yang memungkinkan ia diberi pendidikan. Selanjutnya manusia
ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada
Allah dalam arti seluas-luasnya. Ia tidak akan bisa melaksakan tugas ini
sebaik-baiknya kecuali dengan penguasaan yang baik terhadap kedua ilmu ini.[10]
Muhammad Natsir juga mengenalkan konsep tauhid
sebagai dasar Pendidikan. Tauhid harus menjadi dasar berpijak setiap muslim
dalam melakukan segala kegiatannya, diantaranya pendidikan. Muhammad Natsir
juga menggariskan bahwa tauhid haruslah dijadikan dasar dalam kehidupan
manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan. Pendidikan Islam adalah
pendidikan yang didasarkan pada tauhid. Beliau berpandangan bahwa pendidikan
tauhid harus diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah
dibentuk, sebelum didahului oleh materi dan ideologi dan pemahaman lain. Supaya
ia memiliki tali Allah untuk bergantung.[11]
Hasil dari pendidikan model ini akan melahirkan generasi-generasi yang memiliki
hubungan kuat dengan penciptanya serta mengutamakan mu’amalah sesama makhluk.
Dan inilah dua syarat wajib untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan
hidup, lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Ali Imran:112
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا
ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ
مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا
يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ
بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali
jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi
kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka
durhaka dan melampaui batas”. (QS. Ali
Imran: 112)
Menurut Natsir, meninggalkan dasar tauhid dalam
pendidikan anak merupakan kelalaian yang amat besar. Bahayanya, sama besarnya,
dengan penghianatan terhadap anak-anak didik. Walaupun sudah dicukupkan makan
dan minumnya, pakaian dan perhiasannya, serta dilengkapkan pula ilmu
pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini, menurutnya, tidak ada artinya
apabila meninggalkan dasar ketuhanan (ketauhidan) dalam pendidikan mereka.
Natsir memandang bahwa lahirnya para intelektual muslim yang menentang Islam
dan kelompok yang western-minded[12]
adalah akibat dari pendidikan yang tidak berbasis agama yang benar. Dari
sinilah beliau melihat sisi pentingnya tauhid sebagai dasar dari pendidikan
Islam.[13]
D. Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada
tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia berangkat dari
keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu
Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Sementara ibunya
bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di
kraton Yogyakarta.[14]
Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh
dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Tanda shaf
itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia
letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada
di sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian
yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu
kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang
bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid
dan tanda shaf yang ditulisnya itu.[15]
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya
kepada para ulama timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiyai
Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiyai
Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama
nusantara seperti kiyai Nawawi Banten dan kiyai Khatib dari Minangkabau, yang
pada akhirnya dialog itu banyak mendorongnya untuk melakukan reformasi di
Indonesia, terutama dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang
tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya
dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian
aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil
berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabligh dan diskusi keagamaan
sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad
Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah
beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam.
Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk beramal demi kemajuan umat Islam dan
bangsa. KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari
1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.
E. Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk
menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran
yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada
skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.[16]
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad
Dahlan ini meliputi:
1.
Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya
diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim
dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan
pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu
pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi
pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang saleh dan
mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan
pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme
pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan pesantren yang
menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang
menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan
berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu
yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia
dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum,
material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan
pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2.
Kurkulum atau Materi Pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH.
Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi:[17]
a.
Pendidikan
moral, akhlak yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.
Pendidikan
individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh
yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan
dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c.
Pendidikan
kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan
hidup bermasyarakat.
F. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pemikiran pendidikan oleh
Muhammad Natsir dan KH. Ahmad Dahlan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Pemikiran
Pendidikan Muhammad Natsir
|
Pemikiran
Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
|
Tujuan
Pendidikan:
Untuk membentuk
manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki
ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika
perkembangan masyarakat.
|
Tujuan
Pendidikan:
Untuk membentuk
manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan
dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya.
|
Kurikulum
pendidikan:
Kurikulum
pendidikan yang disusun dan dikembangkan secara integral dengan
mempertimbangkan kebutuhan umum dan kebutuhan khusus sesuai dengan potensi
yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga akan tertanam sikap kemandirian
bagi setiap peserta didik dalam menyikapi realitas kehidupannya. Maksudnya
menggabungkan ilmu umum dengan ilmu agama.
|
Kurikulum
pendidikan:
Pendidikan
moral, akhlak, individu dan masyarakat.
|
[1] Ada
tiga tokoh yang mempengaruhi alam fikiran Muhammad Natsir, yaitu; Pendiri
Persis A. Hassan, Haji Agus Salim dan pendiri al Irsyad al Islamiyah Syaikh
Achmad Soerkati (Adian Husaini, Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan,
Republika. Ahad, 21 Maret 2010)
[2] Salah
satu prestasinya yang membanggakan adalah pada saat Muhammad Natsir menjadi
perdana Menteri, Beliau mengeluarkan keputusan untuk mewajibkan pelajaran Agama
Islam disekolah-sekolah Umum. (Adian Husaini, Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan,
Republika. Ahad, 21 Maret 2010)
[3]
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di
Indonesia, (PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta, 2005), h. 73-77
[4] Lembaga
ini menjadi model alternatif dari sistem pendidikan kolonial. Sekaligus hadir
sebagai jawaban dari sistem pendidikan sekular belanda saat itu. Beliau
berpendapat pendidikan bukanlah bersifat parsial. Pendidikan adalah universal,
ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat
jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu. Beliau
berusaha menggabungkan pendidikan pengetahuan umum dengan agama. Beliau tidak
sepakat dengan sistem pendidikan sekular, yang memisahkan agama dari dunia.
[5] Badru
Tamam: Konsep
Pendidikan Muhammad Natsir, Diakses tanggal 29 januari 2012 dari, (http://www.voa-islam.com)
[6] Mantan
perdana menteri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapkan berita wafatnya
Natsir ini dengan ungkapan: Berita wafatnya Pak Muhammad Natsir terasa lebih
dahsyat dari jatuhnya bom atom Hirosima (Abuddin Nata, Tokoh
Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 81)
[7] Pemikiran
Pendidikan Islam Muhammad Natsir. Diakses tanggal 20 Januari 2012
dari, (http://digilib.umm.ac.id)
[8]
Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
h. 83
[9] Muhammad
Natsir, Kapita Selekta I, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), h. 86
[10] Beliau
berpandangan bahwa kemunduran dan kemajuan tidak bergantung pada ketimuran atau
kebaratan. Tidak bergantung pada putih, kuning, atau hitamnya warna kulit. Tapi
bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat atau bibit kesanggupan dalam
salah satu umat, yang menjadikan mereka layak atau tidak menduduki tempat yang
mulia di atas dunia ini. Dan ada atau tidaknya sifat-sifat dan kesanggupan
(kapasitas) ini bergantung kepada didikan jasmani dan rohani yang mereka terima
untuk mencapai yang demikian
[11] Salah
satu ungkapan Muhammad Natsir pada tahun 1937 dalam artikelnya di majalah
Pedoman Masyarakat yang bertajuk Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan.
“Mengenal
Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempertjajai dan mejerahkan diri kepada Tuhan, tak
dapat harus mendjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan jang hendak diberikan
kepada generasi jang kita latih, djikalau kita sebagai guru ataupun sebagai
Ibu-Bapa, betul-betul tjinta kepada anak-anak jang dipertaruhkan Allah kepada
kita” dan “Hubungan dengan manusia dan sesama machluk
dapat diadakan kapan sadja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah
boleh dinanti-nantikan setelahnja besar atau berumur landjut.”
[12]
Muhammad Natsir mencontohkan salah satu tokoh muda yang terpengaruh oleh western
minded seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata: “Salah satu usaha
pemerintah kolonial Belanda yang juga merupakan tantangan adalah apa yang
dikenal dengan asimilasi atau se-Indonesiasi, yaitu upaya untuk mengajak
golongan elite Indonesia agar merasa dan menganggap sebagai orang Belanda yang
sama-sama berkiblat ke Den Haag, sehingga terlepas dari pandangan hidupnya
sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya asli Indonesia. Murid-murid
sekolah yang otaknya brillian dititipkan kepada keluarga belanda atau keluarga
yang beragama Kristen. Salah satu korbannya adalah Amir Syarifuddin yang lahir
sebagai anak Islam, namun kemudian menjadi seorang Kristen Protestan” (Abuddin
Nata: Tokoh
Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 82)
[14]
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan historis, teoritis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 100
[15]
Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985),
h. 85
[16] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan historis, teoritis, h. 107
[17] Ibid,
h. 204
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Husaini,
Adian,
Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan, Republika. Ahad, 21
Maret 2010
Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di
Indonesia, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2005
Natsir, Muhammad, Kapita Selekta I, Jakarta: Bulan Bintang,
2008
_______,
Tauhid
Sebagai Dasar Pendidikan, tahun 1937 dalam artikelnya
di majalah Pedoman Masyarakat
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan historis, teoritis,
Jakarta: Ciputat Pers, 2002
Noer,
Delias, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1985
Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir.
Diakses tanggal 20 Januari 2012 dari, (http://digilib.umm.ac.id)
Tamam,
Badru, Konsep
Pendidikan Muhammad Natsir, Diakses tanggal 29 januari 2012 dari, (http://www.voa-islam.com)
1 komentar:
A Guide to Slots in North Carolina - JTM Hub
Slots for 대전광역 출장마사지 Real Money – This 당진 출장마사지 list offers online 실시간 바카라 사이트 casino games that include slot machines, bingo, live 성남 출장샵 dealer games, bingo, live dealer games, scratch cards 여주 출장안마
Posting Komentar