Minggu, 04 Maret 2012

PEMIKIRAN PENDIDIKAN: MUHAMMAD NATSIR Versus KH. AHMAD DAHLAN


PEMIKIRAN PENDIDIKAN:
MUHAMMAD NATSIR Versus KH. AHMAD DAHLAN
Oleh: ZAIJONI

A.    Pendahuluan
Suksesnya pendidikan di Indonesia tentunya tidak pernah lepas dari peran para ulama. Sekian banyak ulama yang ada di Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak, tentunya banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya waktu, para ulama yang telah berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan, bahkan ajaran mereka dan peran sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda tak sepatutnya melupakan jasa-jasa para ulama tersebut terutama di dalam bidang pendidikan. Bahkan kita harus lebih giat lagi dalam meneruskan visi dan misi mereka. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang perbandingan pemikiran pendidikan oleh Muhammad Natsir dengan pemikiran pendidikan KH. Ahmad Dahlan.
Dalam makalah ini juga akan dipaparkan tentang biografi kedua tokoh ini, serta pemikiran pendidikan oleh keduanya. Karena begitu luasnya pembahasan ini maka pemakalah membatasinya dengan fokus kepada tujuan pendidikan oleh kedua tokoh ini. Sebagai rumusannya adalah bagaimana tujuan pendidikan Islam oleh Muhammad Natsir versus KH. Ahamad Dahlan.

B.     Biografi Muhammad Natsir
Muhammad Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jum’at 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Natsir adalah putra dari Khadijah dan Mohammad Idris Sutan Saripado. Ia memiliki 3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, Yohanusun. Tanah kelahiran Natsir sangat terbuka dengan model pendidikan Belanda, sehingga kesempatan ini banyak dipergunakan oleh penduduk secara antusias, sehingga sekolah pada waktu itu tidak dapat menampung animo masyakat untuk mengenyam pendidikan.
Riwayat pendidikan Muhammad Natsir dimulai di sekolah Rakyat (SR) Maninjau Sumatra Barat hingga kelas dua. Ketika ayahnya dipindah-tugaskan ke Bakeru, Natsir mendapat tawaran dari mamaknya, Ibrahim untuk pindah ke Padang agar dapat menjadi siswa di Holland Inlandse School (HIS) Padang. Namun His Padang menolaknya dikarenakan latar belakang Muhammad Natsir yang berasal dari anak pegawai rendahan. Akan tetapi Natsir memasuki HIS Adabiyah (swasta) yang diperuntukkan untuk anak-anak negeri selama lima bulan.
Setelah ayahnya dipindah-tugaskan dari Bekeru ke Alahan Panjang, Natsir dijemput untuk sekolah di HIS pemerintah yang berada di Solok. Namun karena Solok cukup jauh dari Alahan Panjang, maka Natsir terpaksa dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa.
Setelah belajar di HIS pada pagi hari, Natsir juga belajar di sekolah diniyah pada waktu sore dan belajar mengaji pada malam hari. Pada waktu itulah Natsir mulai belajar bahasa Arab. Setelah ia duduk di kelas tiga sekolah diniyah, dia diminta untuk mengajar di kelas satu, mengingat pada saat itu masih kekurangan guru. Atas pelaksanaan tugasnya itu, Natsir memperoleh imbalan sebesar sepuluh ribu rupiah sebulan.
Namun saat itu datang pula kakaknya yang mengajak pindah ke Padang. Di HIS Padang itulah Natsir masuk kelas lima dan bersekolah di situ selama tiga tahun hingga selesai. Setelah lulus dari HIS, Natsir mengajukan permohonan untuk mendapat beasiswa dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs) dan ternyata lamarannya itu diterima. Di MULO Padang inilah Natsir mulai aktif dalam organisasi. Mula-mula ia masuk dalam Jong Sumatranen Bond (Serikat Pemuda Sumatra) yang diketuai oleh Sanusi Pane. Kemudian ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond (Serikat Pemuda Islam) dan disitupun Sanusi Pane aktif sebagi ketua dan menjadi anggota Pandu Nationale Islamietische Pavinderij (Natipij), sejenis Pramuka sekarang. Menurut Natsir organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkan di sekolah, dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.
Aktivitas Natsir semakin berkembang ketika ia menjadi siswa di Algememe Midelbare School (AMS) di Bandung. Di kota inilah ia mempelajari agama secara mendalam serta berkecimpung dalam bidang politik, dakwah, dan pendidikan. Di tempat ini pula Natsir berjumpa dengan A. Hasan (1887-1958), seorang tokoh pemikir radikal dan pendiri Persatuan Islam (Persis). Natsir mengaku bahwa A. Hassan banyak mempengaruhi alam pikirannya. Hal ini karena Muhammad Natsir tertarik pada kesederhanaan A. Hassan, juga kerapihan kerja dan kealimannya.[1]
Minat dan perhatian Natsir terhadap persoalan keislaman dan Kemasyarakatan menyebabkan Natsir menolak tiga kesempatan yang ditawarkan kepadanya, yaitu melanjutkan ke fakultas ekonomi atau fakultas hukum di Rotterdam, menjadi pegawai negeri dengan gaji besar sebagai hadiah atas keberhasilannya menyelesaikan studi di AMS dengan nilai tinggi. Minat tersebut direalisasikannya dengan aktif dalam bidang pendidikan secara luas yang dirintisnya dengan melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan studi Islam yang dilaksanakan oleh Persatuan Islam (Persis) di Bandung yang dimulai sejak tahun 1927-1932 dibawah pimpinan A. Hassan.
Pada bulan Maret 1932 Persis menyelenggarakan pertemuan kaum muslimin di Bandung dengan mengangkat persoalan pendidikan bagi generasi muda Islam sebagai tema sentralnya. Pertemuan itu melahirkan suatu perkumpulan yang diberi nama Pendidikan Islam (Pendis) dengan program utamanya meningkatkan mutu pendidikan melalui pembaharuan kurikulum, menanamkan ruh Islam pada setiap mata pelajaran yang diajarkan kepada para siswa.[2]
Serta mengelola sistem pendidikan yang dapat melahirkan lulusan yang memiliki kepribadian yang mandiri dan terampil. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas antara lain dilakukan melalui pendirian sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak, HIS, MULO, pertukangan, perdagangan, kursus-kursus, ceramah, dan lain sebagainya.[3]
Jejak M. Natsir dalam bidang pendidikan sudah ada sebelum negeri ini merdeka. Ketika Indonesia berada di bawah jajahan Jepang (1942-1945) seluruh partai Islam dibubarkan kecuali empat organisasi islam yang tergabung dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yaitu; NU, Muhammadiyah, PUI yang berpusat di Majalengka, dan PUII yang berpusat di Sukabumi. Empat generasi tersebut kemudian tergabung dalam satu wadah, yaitu MASJOEMI, penjelmaan baru MIAI. Pada 1945 Masjoemi mengadakan rapat yang menghasilkan dua putusan penting, pertama, membentuk barisan mujahidin dengan nama Hizbullah untuk berjuang melawan sekutu. Kedua, mendirikan perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI), STI kemudian hari menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Maksud berdirinya STI adalah untuk memberikan pendidikan tinggi tentang agama Islam, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat di kemudian hari.
Dewan Ketua Kurator STI dijabat Mohammad Hatta dan Natsir sebagai sekretarisnya. Rektor Magnificus oleh KH. A. Kahar Muzakkir dan Natsir pula sebagai sekretarisnya, dan Prawoto Mangkusasmito sebagai wakil sekretaris. Di samping menjabat sebagai sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, Pak Natsir, di kala itu, menjabat sebagai kepala biro pendidikan Kodya Bandung. Pada tahun 1932-1942, beliau memimpin Lembaga Pendidikan Islam (PENDIS)[4] yang menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat menjadi universitas terpandang di kota Bandung.
Setelah matang membangun Pendis, Natsir mengarahkan andilnya untuk membangun perguruan Islam lainnya. Beliau melakukan adanya koordinasi dan penyelarasan program pendidikan perguruan Islam bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang memiliki keseragaman dasar dan cita-cita.
Guna merealisasikan tujuannya ini, beliau menyeru perguruan dan institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk wadah bersama yang diberi nama Perikatan Perguruan-Perguruan Muslim (PERMUSI). Beliau juga tercatat sebagai penggagas di balik berdirinya Badan Kerja Sama Perguruan tinggi Islam Swasta (BKS PTIS) yang kini memiliki anggota lebih dari 500 PTIS se Indonesia. Dari gagasan Muhammad Natsir lahirlah kampus-kampus Islam yang memiliki nama besar, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan, Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung, Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Makasar, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) di Semarang, Universitas Islam Riau (UIR) di Riau, Universitas Al-Azhar Indonesia, dan LPDI Jakarta yang kini menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Muhammad Natsir.[5]
Muhammad Natsir berpulang ke rahmatullah pada tanggal 6 pebruari 1993 Masehi bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 Hijriah di rumah sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta dalam usia 85 tahun dengan meninggalkan enam orang anak dari pernikahannya dengan Nurhanar, yaitu; Siti Muchlisoh (20 Maret 1936), Abu Hanifah ( 29 April 1937), Asma Farida (17 Mei 1941). Hasnah Faizah (5 Mei 1941), Aisyatul Asrah (20 Mei 1942), dan Ahmad Fauzi (26 April 1944). Berbagai ungkapan belasungkawa muncul baik dari kawan seperjuangan maupun lawan politiknya.[6]

C.    Pemikiran Pendidikan Muhammad Natsir
1.      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Mohammad Natsir adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.[7] Selain itu bahwa tujuan manusia adalah untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tidak akan diperoleh dengan sempurna kecuali dengan keduanya. Pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan kehidupan manusia, tujuan ini tercermin dalam al Qur’an Surat Al-An’am: 162.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupki dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (QS. Al-An’am: 162)

Bagi Muhammad Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri kepada Allah SWT semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini juga yang disimpulkan oleh Abuddin Nata, tentang tujuan pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya adalah pendidikan.
Firman Allah SWT:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)

Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. Menurut Natsir dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai khalifah di muka bumi.[8] Perkataan menyembah-Ku sebagaimana terdapat dalam potongan surat adz-Dzariyat tersebut di atas menurut Natsir memiliki arti yang sangat dalam dan luas, lebih luas dan dalam dari perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan gunakan setiap hari. ”Menyembah Allah” itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah Ilahi yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan di akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan di dunia dan di akhirat itu.[9]
Selain itu, Muhammad Natsir sangat konsen terhadap Pendidikan anak dalam Islam, sesuai yang dipahami Natsir, pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak (orang tua). Hukumnya fardhu ‘ain, karena anak, dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi keduanya yang harus dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas anak-anak mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”  (QS. At-Tahrim: 6)

Menurut Muhammad Natsir, maksud ayat ini adalah: “harus kita berikan kepada anak dan istri kita didikan yang memeliharanya dari kesesatan dan memberi keselamatan kepadanya di dunia dan akhirat. Sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Tiada seorang bayipun yang lahir melainkan dilahirkan di atas fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nashrani.” (HR. Bukhari)
Mengurus pendidikan anak-anak orang Islam bukan hanya menjadi fardhu ‘ain bagi orang tuanya, tapi juga menjadi fardhu kifayah bagi tiap-tiap anggota dalam sebuah masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali Imran: 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran: 104)

Kaum muslimin wajib mengadakan satu kelompok yang mengadakan pendidikan untuk anak-anak orang Islam, supaya pendidikan mereka tidak digarap oleh orang-orang yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman, dan tidak seagama. hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ
“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri”. (QS. Al-Baqarah: 109)

2.      Kurikulum Pendidikan Islam
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan pendidikan Islam tersebut menurut pandangan Mohammad Natsir semestinya kurikulum pendidikan dapat disusun dan dikembangkan secara integral dengan mempertimbangkan kebutuhan umum dan kebutuhan khusus sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga akan tertanam sikap kemandirian bagi setiap peserta didik dalam menyikapi realitas kehidupannya. Beliau sangat tegas menolak teori dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Makanya beliau menampik pemisahan pendidikan agama dan pendidikan umum. Dikotomi ilmu agama dan ilmu umum adalah teori yang lahir dari rahim sekularisme.  Hal ini tentunya sesuai dengan pandangan al-Qur’an tentang manusia. Bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia diberi pendidikan. Selanjutnya manusia ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Allah dalam arti seluas-luasnya. Ia tidak akan bisa melaksakan tugas ini sebaik-baiknya kecuali dengan penguasaan yang baik terhadap kedua ilmu ini.[10]
Muhammad Natsir juga mengenalkan konsep tauhid sebagai dasar Pendidikan. Tauhid harus menjadi dasar berpijak setiap muslim dalam melakukan segala kegiatannya, diantaranya pendidikan. Muhammad Natsir juga menggariskan bahwa tauhid haruslah dijadikan dasar dalam kehidupan manusia, diantaranya dalam masalah pendidikan. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang didasarkan pada tauhid. Beliau berpandangan bahwa pendidikan tauhid harus diberikan kepada anak sedini mungkin, selagi masih muda dan mudah dibentuk, sebelum didahului oleh materi dan ideologi dan pemahaman lain. Supaya ia memiliki tali Allah untuk bergantung.[11] Hasil dari pendidikan model ini akan melahirkan generasi-generasi yang memiliki hubungan kuat dengan penciptanya serta mengutamakan mu’amalah sesama makhluk. Dan inilah dua syarat wajib untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup, lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat Ali Imran:112
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”. (QS. Ali Imran: 112)

Menurut Natsir, meninggalkan dasar tauhid dalam pendidikan anak merupakan kelalaian yang amat besar. Bahayanya, sama besarnya, dengan penghianatan terhadap anak-anak didik. Walaupun sudah dicukupkan makan dan minumnya, pakaian dan perhiasannya, serta dilengkapkan pula ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini, menurutnya, tidak ada artinya apabila meninggalkan dasar ketuhanan (ketauhidan) dalam pendidikan mereka. Natsir memandang bahwa lahirnya para intelektual muslim yang menentang Islam dan kelompok yang western-minded[12] adalah akibat dari pendidikan yang tidak berbasis agama yang benar. Dari sinilah beliau melihat sisi pentingnya tauhid sebagai dasar dari pendidikan Islam.[13]

D.    Riwayat Hidup KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1898 dan meninggal pada tanggal 25 Pebruari 1923. Ia berangkat dari keluarga diktatis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Aminah, putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.[14]
Pada usia yang masih muda, ia membuat heboh dengan membuat tanda shaf dalam masjid agung dengan memakai kapur. Tanda shaf itu bertujuan untuk memberi arah kiblat yang benar dalam masjid. Menurut dia letak masjid yang tepat menghadap barat keliru, sebab letak kota Mekkah berada di sebelah barat agak ke utara dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang sederhana Ahmad Dahlan berkesimpulan bahwa kiblat di masjid agung itu kurang benar, dan oleh karena itu harus dibetulkan. Penghulu kepala yang bertugas menjaga masjid Agung dengan cepat menyuruh orang membersihkan lantai masjid dan tanda shaf yang ditulisnya itu.[15]
KH. Ahmad Dahlan memperdalam ilmu agamanya kepada para ulama timur tengah. Beliau memperdalam ilmu fiqih kepada kiyai Mahfudz Termas, ilmu hadits kepada Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada kiyai Asy’ari Bacean. Beliau juga sempat mengadakan dialog dengan para ulama nusantara seperti kiyai Nawawi Banten dan kiyai Khatib dari Minangkabau, yang pada akhirnya dialog itu banyak mendorongnya untuk melakukan reformasi di Indonesia, terutama dialognya dengan syeikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang tokoh modernis dari Mesir.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, KH. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. KH. Ahmad Dahlan melakukan tabligh dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk beramal demi kemajuan umat Islam dan bangsa. KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.

E.     Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.[16] Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut maka konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan ini meliputi:
1.      Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang saleh dan mengalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi KH. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
2.      Kurkulum atau Materi Pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:[17]
a.       Pendidikan moral, akhlak yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b.      Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c.       Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
 
F.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian pemikiran pendidikan oleh Muhammad Natsir dan KH. Ahmad Dahlan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pemikiran Pendidikan Muhammad Natsir
Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Tujuan Pendidikan:
Untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.
Tujuan Pendidikan:
Untuk membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Kurikulum pendidikan:
Kurikulum pendidikan yang disusun dan dikembangkan secara integral dengan mempertimbangkan kebutuhan umum dan kebutuhan khusus sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga akan tertanam sikap kemandirian bagi setiap peserta didik dalam menyikapi realitas kehidupannya. Maksudnya menggabungkan ilmu umum dengan ilmu agama.
Kurikulum pendidikan:
Pendidikan moral, akhlak, individu dan masyarakat.



[1] Ada tiga tokoh yang mempengaruhi alam fikiran Muhammad Natsir, yaitu; Pendiri Persis A. Hassan, Haji Agus Salim dan pendiri al Irsyad al Islamiyah Syaikh Achmad Soerkati (Adian Husaini, Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan, Republika. Ahad, 21 Maret 2010)
[2] Salah satu prestasinya yang membanggakan adalah pada saat Muhammad Natsir menjadi perdana Menteri, Beliau mengeluarkan keputusan untuk mewajibkan pelajaran Agama Islam disekolah-sekolah Umum. (Adian Husaini, Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan, Republika. Ahad, 21 Maret 2010)
[3] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2005), h. 73-77
[4] Lembaga ini menjadi model alternatif dari sistem pendidikan kolonial. Sekaligus hadir sebagai jawaban dari sistem pendidikan sekular belanda saat itu. Beliau berpendapat pendidikan bukanlah bersifat parsial. Pendidikan adalah universal, ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan spiritual, antara sifat jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-cabang ilmu. Beliau berusaha menggabungkan pendidikan pengetahuan umum dengan agama. Beliau tidak sepakat dengan sistem pendidikan sekular, yang memisahkan agama dari dunia.
[5] Badru Tamam: Konsep Pendidikan Muhammad Natsir, Diakses tanggal 29 januari 2012 dari, (http://www.voa-islam.com)
[6] Mantan perdana menteri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapkan berita wafatnya Natsir ini dengan ungkapan: Berita wafatnya Pak Muhammad Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom Hirosima (Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 81)
[7] Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir. Diakses tanggal 20 Januari 2012 dari, (http://digilib.umm.ac.id)
[8] Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 83
[9] Muhammad Natsir, Kapita Selekta I, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), h. 86
[10] Beliau berpandangan bahwa kemunduran dan kemajuan tidak bergantung pada ketimuran atau kebaratan. Tidak bergantung pada putih, kuning, atau hitamnya warna kulit. Tapi bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat atau bibit kesanggupan dalam salah satu umat, yang menjadikan mereka layak atau tidak menduduki tempat yang mulia di atas dunia ini. Dan ada atau tidaknya sifat-sifat dan kesanggupan (kapasitas) ini bergantung kepada didikan jasmani dan rohani yang mereka terima untuk mencapai yang demikian
[11] Salah satu ungkapan Muhammad Natsir pada tahun 1937 dalam artikelnya di majalah Pedoman Masyarakat yang bertajuk Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan. “Mengenal Tuhan, men-tauhidkan Tuhan, mempertjajai dan mejerahkan diri kepada Tuhan, tak dapat harus mendjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan jang hendak diberikan kepada generasi jang kita latih, djikalau kita sebagai guru ataupun sebagai Ibu-Bapa, betul-betul tjinta kepada anak-anak jang dipertaruhkan Allah kepada kita” dan Hubungan dengan manusia dan sesama machluk dapat diadakan kapan sadja waktunya. Akan tetapi hubungan dengan Ilahi tidaklah boleh dinanti-nantikan setelahnja besar atau berumur landjut.”
[12] Muhammad Natsir mencontohkan salah satu tokoh muda yang terpengaruh oleh western minded seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata: “Salah satu usaha pemerintah kolonial Belanda yang juga merupakan tantangan adalah apa yang dikenal dengan asimilasi atau se-Indonesiasi, yaitu upaya untuk mengajak golongan elite Indonesia agar merasa dan menganggap sebagai orang Belanda yang sama-sama berkiblat ke Den Haag, sehingga terlepas dari pandangan hidupnya sebagai bangsa Indonesia  yang memiliki budaya asli Indonesia. Murid-murid sekolah yang otaknya brillian dititipkan kepada keluarga belanda atau keluarga yang beragama Kristen. Salah satu korbannya adalah Amir Syarifuddin yang lahir sebagai anak Islam, namun kemudian menjadi seorang Kristen Protestan” (Abuddin Nata: Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hal. 82)
[13] Badru Tamam: Konsep Pendidikan Muhammad Natsir, Diakses tanggal 29 januari 2012
[14] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan historis, teoritis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 100
[15] Delias Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 85
[16] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan historis, teoritis, h. 107
[17] Ibid, h. 204

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Husaini, Adian, Muhammad Natsir; Pahlawan dan Pendidik Teladan, Republika. Ahad, 21 Maret 2010

Nata, Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2005

Natsir, Muhammad, Kapita Selekta I, Jakarta: Bulan Bintang, 2008

_______, Tauhid Sebagai Dasar Pendidikan, tahun 1937 dalam artikelnya di majalah Pedoman Masyarakat

Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan historis, teoritis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002

Noer, Delias, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1985

Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir. Diakses tanggal 20 Januari 2012 dari, (http://digilib.umm.ac.id)

Tamam, Badru, Konsep Pendidikan Muhammad Natsir, Diakses tanggal 29 januari 2012 dari, (http://www.voa-islam.com)




1 komentar:

tallonmable mengatakan...

A Guide to Slots in North Carolina - JTM Hub
Slots for 대전광역 출장마사지 Real Money – This 당진 출장마사지 list offers online 실시간 바카라 사이트 casino games that include slot machines, bingo, live 성남 출장샵 dealer games, bingo, live dealer games, scratch cards 여주 출장안마