TEORI-TEORI BELAJAR, JENIS-JENIS BELAJAR, dan
MODEL-MODEL MENGAJAR
Oleh: ZAIJONI
A.
Teori-Teori Belajar
Banyak
teori belajar yang digunakan para guru untuk berbagai keperluan belajar dan
proses pembelajaran.
1. Teori belajar Behavioristik
Teori
belajar ini pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini
adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan
mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan
negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam
teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah ,tetapi instruksi
singkat yang dikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.[1]
Teori-teori
belajar yang termasuk ke dalam kelompok Behaviristik ini di antaranya adalah:
a. Teori belajar Koneksionisme, dengan
tokohnya Edward L. Thorndike (1874-1949).
Belajar
adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.[2]
b. Teori belajar Classical Conditioning,
dengan tokohnya Ivan Perovich Pavlov (1849-1936).
Menurut
pendapat ini bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara
berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian. Belajar atau pembentukan prilaku
perlu dibantu dengan kondisi tetentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan
semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbhkan tingkah laku itu.[3]
c. Teori belajar Operant Conditioning,
dengan tokohnya B.F. Skinner.
Menurut
pendapat ini, bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau
dipecah-pecah menjadi bagian-bagian atau komponen tingkah laku yang spesifik.
Selanjutnya agar terbentuk pada tingkah laku yang diharapkan, pada setiap
tingkah laku yang spesifik yang telah direspon, perlu diberikan hadiah agar
tingkah laku itu terus- menerus diulang, serta untuk memotivasi agar berlanjut
kepada komponen tingkah laku selanjutnya sampai akhirnya pada pembentukan
tingkah laku puncak yang diharapkan.[4]
d. Teori belajar Systematic Behavior,
dengan tokohnya Clark L. Hull (1884-1952).
Menurut
Hull mengasumsikan bahwa hasil belajar terhadap bentuk-bentuk prilaku yang
sederhana.[5]
e. Teori belajar Contiguous
Conditioning, dengan tokohnya Edwin R. Guthrie (1886-1959).
Menurut
teori ini, pertama proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti
dengan suatu gerakkan, pada saat pengulangan berikutnya cendrung diikuti lagi
oleh gerakkan tersebut. Kedua pola stimulus mempunyai korelasi atau
keterkaitan yang tinggi dengan respon yang ditimbulkannya pertama kali.[6]
2. Teori belajar Kognitif
Menurut
teori ini, proses belajar akan belajar dengan baik bila materi pelajaran yang
beradaptasi (berkesinambungan)secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki oleh siswa. Dalam teori ini ilmu pengetahuan dibangun dalam
diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan
lingkungan. Proses pembelajaran ini bejalan tidak sepotong-sepotong atau
terpisah-pisah melainkan bersambung-sambung dan menyeluruh. Teori belajar
kognitif ini guru bukanlah sumber belajar utama dan bukan kepatuhan siswa yang
dituntut dalam refleksi atas apa yang diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Evaluasi belajar bukan pada hasil tetapi pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasi pengalamanya.[7]
Teori-teori
belajar yang termasuk ke dalam kelompok kognitif ini di antaranya adalah:
a. Teori Gestalt, dengan tokohnya Kurt Koffka,
Wolfgang Kohler dan Max Wetheimer.
Menurut
teori ini, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight
adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi
permasalahan.[8]
b. Teori Medan (Field Theory), dengan
tokohnya Kurt Lewin.
Menurut
teori ini, belajar adalah proses pemecahan masalah.[9]
c. Teori Organismik, dengan tokohnya
Wheeler.
d. Teori Humanistik, dengan tokohnya
Maslow dan Rogers.
Belajar
merupakan suatu proses dimana siswa mengembangkan kemampuan pribadi yang
khasdalam bereaksi terhadap lingkungan sekitar. Dengan kata lain, siswa
tersebut mengembangkan kemampuan terbaik dalam diri pribadinya.[10]
e. Teori Kontruktivistik.
Belajar
menurut teori kontruktivistik bukanlah sekedar menghapfal akan tetapi, proses
mengkontruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
“pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkontruksi yang dilakukan setiap individu.[11]
B.
Jenis-Jenis Belajar
1.
Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar
melalui isyarat adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya
tanda atau isyarat. Misalnya berhenti berbicara ketika mendapat isyarat
telunjuk menyilang mulut sebagai tanda tidak boleh rebut.[12]
2.
Belajar Stimulus Respon (Stimulus-Response
Learning)
Belajar
Stimmulus-Respon terjadi pada diri individu karena ada ransangan dari luar.
Misalnya menendang bola ketika ada bola didepan kaki, berbaris rapi karena ada
komando, berlari kencang karena mendengar anjing menggonggong.[13]
3.
Belajar Rangkaian (Chaining Learning)
Belajar
terjadi melalui perpaduan berbagai proses stimulus respon yang telah dipelajari
sebelumnya sehingga melahirkan perilaku yang segera atau spontan seperti konsep
merah-putih, panas-dingin, dan ibu-bapak.[14]
4.
Belajar Asosiasi Verbal (Verbal Association
Learning)
Belajar
asosiasi verbal terjadi bila individu telah mengetahui sebutan bentuk dan dapat
menangkap makna yang bersifat verbal. Misalnya perahu itu seperti badan itik,
kereta api seperti kaki seribu, dan wajahnya seperti bulan kesiangan.[15]
5.
Belajar Membedakan (Discrimination Learning)
Belajar
diskriminasi terjadi bila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman
yang luas dan mencoba membeda-bedakan hal-hal yang jumlahnya banyak. Misalnya
membedakan jenis tumbuh-tumbuhan atas urat daunnya.[16]
6.
Belajar Konsep (Concept Learning)
Belajar
konsep terjadi bila individu menghadapi berbagai fakta atau data yang kemudian
ditafsirkan ke dalam suatu pengertian atau makna yang abstrak. Misalnya
binatang, tumbuh-tumbuhan dan manusia.[17]
7.
Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning)
Belajar
aturan/hukum terjadi bila individu menggunakan beberapa rangkaian peristiwa
atau perangkat data yang terdahulu atau yang diberikan sebelumnya dan
menerapkan atau menarik kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu aturan.
Misalnya ditemukan bahwa benda memuai bila dipanaskan.[18]
8.
Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving
Learning)
Belajar
pemecahan masalah terjadi bila individu menggunakan bebagai konsep atau prinsip
untuk menjawab suatu pertanyaan. Misalnya mengapa harga bahan bakar minyak
naik.[19]
C.
Model-Model Mengajar
1.
Model
PPSI
Prosedur
Pengembangan Sistem Intruksional (PSSI) dikembangkan oleh Badan Pengembang
Pendidikan (BPP) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1972.[20]
2.
Model
Rekontruksi kuliah
Model
ini diciptakan oleh Tjipto Utomo, dan Kees Ruijjter, dan diberi nama
“rekontruksi kuliah/kursus” karena ditujukan untuk memperbaiki kuliah yang
sudah berjalan di ITB.[21]
3. Model Briggs dan Wager
Model
ini khusus dibuat untuk kegunaan seseorang tenaga pengajar untuk keperluannya
di kelas.[22]
4. Model Gerlach dan Ely
Menurut
Gerlach dan Ely langkah awal berupa spesifikasi isi dan tujuan merupakan
langkah yang simultan dan merupakan kegiatan interaktif.[23]
5. Model Kemp
Model
ini dapat digunakan pada SD sampai perguruan tinggi.[24]
6. Model Gentry
Disain
pembelajaran model Gentry dikenal dengan singkatan IPDM (Instructional Project
Development and Management) mulai diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Castelle
G. Gentry.[25]
7.
Model Information Processing, sebuah model
mengajar untuk mengembangkan ranah cipta (kognitif).
Termasuk
model information processing adalah Model Peningkatan Kapasitas Berfikir
yang diilhami oleh Jean Piaget (1896 – 1980). Penerapan model ini diarahkan
pada pengembangan-pengembangan sebagai berikut :
a.
Daya cipta akal siswa
b.
Berpikir kritis siswa
c.
Penilaian mandiri siswa
Langkah-langkah (syntax)
Setelah
guru mempersiapkan segala sesuatu yang mendukung penyajiannya, seperti alat
peraga, buku sumber dll, ia harus siap melaksanakan tiga macam sintaks model.
Langkah-langkah ini biasanya ditempuh dengan menggunakan motede Diskusi dan
pemberian tugas yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Langkah
konfrontasi.
Yaitu guru mengkonfrontasikan atau menghadapkan para siswa pada permasalahan
yang menentang, penuh tanda tanya, dan terkadang tak masuk akal. Caranya ialah
dengan menajukan pertanyaan yang pelik tetapi masih setara dengan perkembangan
ranah kognitif siswa.
2.
Langkah
inquiry,
merupakan proses pengunaan intelek siswa dalam memperoleh pengetahuan dengan
cara menemukan dan mengorganisasikan konsep-konsep ke dalam sebuah tatanan yang
menurut siswa tersebut penting (Barlow, 1985). Selama proses inquiry guru perlu
memberi peluang kepada siswa agar lebih banyak mengembangkan kreativitas
sendiri dalam memecahkan masalah.
3.
Langkah
transfer. Pada
tahap akhir ini diharapkan kemampuan-kemampuan ranah cipta dan rasa yang sudah
dimiliki oleh siswa dapat mempermudah penyelesaian-penyelesaian tugas
pembelajaran berikutnya. Selain itu, kiat kognitif siswa dalam memecahkan
masalah diharapkan dapat memberi dampak positif atau dapat digunakan lagi
untuk memecahkan masalah-masalah baru (Lawson, 1991).[26]
8. Model personal (pengembangan
pribadi)
Model
personal berorientasi pada pengembangan pribadi siswa dengan lebih banyak
memperhatikan kehidupan ranah rasa, terutama fungsi emosionalnya. Model
personal lebih ditekankan pada pembentukan dan pengorganisasian realitas
kehidupaan lingkungan. Diharapkan dengan model ini proses belajar-mengajar
dapat menolong siswa dalam mengembangkan sendiri hubungan yang produktif dengan
lingkungannya.
Model personal lebih bersifat bimbingan dan penyuluhan dalam mengantisipasi atau mengatasi kesulitan belajar siswa, juga untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar siswa yang dianggap bermasalah.
Model personal lebih bersifat bimbingan dan penyuluhan dalam mengantisipasi atau mengatasi kesulitan belajar siswa, juga untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar siswa yang dianggap bermasalah.
Teknik yang lazim digunakan untuk
mengimplementasikan model personal adalah teknik wawancara. Dalam wawancara ini
siswa dibebaskan menjawab dan mengekspresikan ide dan perasaan kepada guru
pembimbing sehubungan dengan masalah yang sedang dialami. Sebaliknya, guru yang
berfungsi sebagai pembimbing sangat dianjurkan untuk bersikap empatik, dalam
arti menunjukkan respons ranah cipta dan rasa yang penuh pengertian terhadap
emosi dan perasaan siswa (Reber, 1988)
Langkah-langkah (syntax)
1. Menentukan situasi yang membantu.
Tahapan ini dilakukan pada wawancara awal. Guru harus pandai-pandai menyusun
daftar pertanyaan yang membuka jalan bagi siswa klien untuk mengekspresikan
secara bebas hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Jadi, tahapan
ini lebih bersifat penjajagan masalah.
2. Mendorong/memotivasi siswa klien
untuk mengekspresikan segala perasaan yang ada, baik yang bersifat positif
maupun negatif.
3. Mengembangkan insight, dalam
arti mengerti dan menyadari sendiri tentang arti, sebab, dan akibat perilakunya
pada masa lalu yang bermasalah. Peranan guru dalam hal ini memberi akses
keterusterangan siswa klien, agar jenis masalah yang akan dipecahkan pada
langkah selanjutnya dapat ditentukan rumusannya.
4. Memotivasi siswa klien sambil
membantuk membuat keputusan tentang jenis masalah dan membuat rencana pemecahan
masalah tersebut. Dalam hal ini, yang dilakukan guru adalah menawarkan
alternatif-alternatif penentuan jenis masalah dan prosedur pemecahannya untuk
dijadikan acuan siswa tersebut dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Jadi
yang mengatasi masalah bukan guru pembimbing melainkan siswa klien itu sendiri.
5. Memotivasi siswa klien untuk
mengambil keputusan mengenai jenis masalah dan tindakan-tindakan positif. Guru
pembimbing tinggal memantau pelaksanaan tindakan-tindakan siswa tersebut sambil
bersiap siaga membantu menyingkirkan atau mengurangi hambatan yang mungkin
merintangi tindakan positif siswa.[27]
9.
Model behavioral
(pengembangan perilaku)
Model
behavioral direkayasa atas dasar kerangka teori perilaku yang dihubungkan dengan proses
belajar mengajar. Aktivitas mengajar, menurut teori ini harus ditujukan pada
timbulnya perilaku baru atau berubahnya perilaku siswa ke arah yang sejalan
dengan harapan. Di antara model mengajar behavioral adalah mastery learning (model belajar
tuntas). Model ini pada dasarnya merupakan pendekatan mengajar yang mengacu
pada penetapan kriteria hasil belajar. Kriteria tingkat keberhasilan belajar
ini meliputi :
1) Pengetahuan
2) Konsep
3) Keterampilan
4) Sikap dan
nilai.
Langkah-langkah (syntax)
1. Langkah orientasi. Pada tahap
pertama ini guru dianjurkan menyusun framework (kerangka kerja
pengajaran). Dalam kerangka tersebut ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
a)
pokok
bahasan materi pelajaran
b)
Keterampilan
yang harus dikuasai siswa setelah mempelajari materi pelajaran.
c)
tugas
dan tanggung jawab murid dalam melakukan belajar.
2. Langkah penyajian. Pada tahap kedua
guru menjelaskan konsep konsep yang terdapat dalam pokok bahasan, serta
mendemonstrasikan keterampilan yang berhubungan dengan materi pelajaran.
3. Langkah strukturisasi latihan. Pada
tahap ketiga ini guru memperlihatkan contoh-contoh mempraktikkan keterampilan
sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan pada waktu penyajian materi.
Dianjurkan untuk memakai media seperti video tape recorder, OHP, LCD atau
gambar-gambar agar lebih mudah ditangkap oleh siswa.
4. Langkah praktik. Pada tahap keempat
ini guru menginstruksikan kepada para siswa untuk mempraktikkan keterampilan
yang telah diajarkan. Dalam hal ini guru cukup memonitar praktik yang dilakukan
oleh siswa apakah sudah benar sesuai dengan teori yang diajarkan.
5. Langkah praktik bebas. Pada tahap
terakhir ini guru dapat memberi kebebasan kepada para siswa untuk mempraktikkan
sendiri keterampilan yang telah dikuasai. Hal ini bisa diterapkan bila siswa
telah mengusai meteri dengan tingkat akurasi (ketepatan) keterampilan minimal
90 persen.
Sebagai
catatan, bahwa model mastery learning itu sangat tepat untuk mengajarkan
keterampilan yang memerlukan aplikasi fungsi-fungsi jasmani (ranah cipta)
seperti pelajaran olah raga, senam, pelajaran shalat dll. Akan tetapi, guru
perlu menyadari kelemahan model belajar tuntas tersebut, lantaran lebih banyak
mengembangkan ranah karsa dan sedikit mengembangkan ranah cipta. Sedangkan
ranah rasa hampir tak tersentuh. Maka guru harus kreatif untuk menggunakan
model mengajar lainnya sebagai upaya pengkombinasian yang dapat menutupi
kekurangan model masteri learning tersebut.[28]
Metode
Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan
imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan
dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati.
Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung
kepada apa yang diperankan.
Kelebihan
metode Role Playing:
Melibatkan
seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan
kemampuannya dalam bekerjasama.
1.
Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi
secara utuh.
2.
Permainan merupakan penemuan yang mudah dan
dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
3.
Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa
melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
4.
Permainan merupakan pengalaman belajar yang
menyenangkan bagi anak.[29]
Metode
pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan
pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu
masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan
sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi
pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah
pemecahan masalah.
Adapun
keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1.
Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2.
Berpikir dan bertindak kreatif.
3.
Memecahkan masalah yang dihadapi secara
realistis
4.
Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5.
Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6.
Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
7.
Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan
dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan
metode problem solving sebagai berikut:
1.
Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk
menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan
siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian
atau konsep tersebut.
2.
Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang
dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.[30]
Problem
Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi
siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi
penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah:
1.
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.
Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah yang dipilih.
2.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik,
tugas, jadwal, dll.)
3.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
4.
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas
dengan temannya.
5.
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka
gunakan.
Kelebihan:
1.
Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga
pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
2.
Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa
lain.
3.
Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
1.
Untuk siswa yang malas tujuan dari metode
tersebut tidak dapat tercapai.
2.
Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3.
Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan
dengan metode ini.[31]
Skrip
kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara
lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
1.
Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2.
Guru membagikan wacana / materi tiap siswa
untuk dibaca dan membuat ringkasan.
3.
Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama
berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4.
Pembicara membacakan ringkasannya selengkap
mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara
pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap
dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi
sebelumnya atau dengan materi lainnya.
5.
Bertukar peran, semula sebagai pembicara
ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
6.
Kesimpulan guru.
7.
Penutup.
Kelebihan:
1. Melatih
pendengaran, ketelitian / kecermatan.
2. Setiap siswa
mendapat peran.
3. Melatih
mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
1. Hanya digunakan
untuk mata pelajaran tertentu
2. Hanya dilakukan
dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada
dua orang tersebut).[32]
Picture
and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan
/ diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
1.
Guru menyampaikan kompetensi yang ingin
dicapai.
2.
Menyajikan materi sebagai pengantar.
3.
Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar
yang berkaitan dengan materi.
4.
Guru menunjuk / memanggil siswa secara
bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5.
Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran
urutan gambar tersebut.
6.
Dari alasan / urutan gambar tersebut guru
memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7.
Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1.
Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing
siswa.
2.
Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:
1.
Memakan banyak waktu.
2.
Banyak siswa yang pasif.[33]
Numbered
Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor
kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari
siswa.
Langkah-langkah:
1.
Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam
setiap kelompok mendapat nomor.
2.
Guru memberikan tugas dan masing-masing
kelompok mengerjakannya.
3.
Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan
memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
4.
Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan
nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
5.
Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru
menunjuk nomor yang lain.
6.
Kesimpulan.
Kelebihan:
1. Setiap siswa
menjadi siap semua.
2. Dapat melakukan
diskusi dengan sungguh-sungguh.
3. Siswa yang
pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
1. Kemungkinan
nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
2. Tidak semua
anggota kelompok dipanggil oleh guru.[34]
Metode
investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan
paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini
melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara
untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk
memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan
proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode
investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang
beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian
kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat
terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari,
mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih,
kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara
keseluruhan.
Adapun
deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a.
Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu
wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para
siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi
pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang.
Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan
akademik.
b.
Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai
prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai
topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c.
Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah
dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas
dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk
menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah.
Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan
bantuan jika diperlukan.
d.
Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai
informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat
diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
e.
Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang
menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas
saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik
tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
f.
Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai
kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan.
Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau
keduanya.[35]
17.
Metode Jigsaw
Pada
dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi
komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok
belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota
bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan
guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang
bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang
terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa
ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan
menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan
subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa
tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam
subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada
temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh
siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi
yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus
menguasai topik secara keseluruhan.
Pembelajaran
kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif
yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada
perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung
unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas
belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT
memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung
jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen
utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1.
Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi
dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau
dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa
harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru,
karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada
saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2.
Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang
siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin
dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama
teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar
bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3.
Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan
belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana
bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang
sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat
skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4.
Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu
atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok
sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam
beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada
meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5.
Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang,
masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor
memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika
rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan
“Good Team” apabila rata-ratanya 30-40.[36]
Siswa
dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota
lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
1.
Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang
secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2.
Guru menyajikan pelajaran.
3.
Guru memberi tugas kepada kelompok untuk
dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota
lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4.
Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh
siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5.
Memberi evaluasi.
6.
Penutup.
Kelebihan:
1.
Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2.
Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1.
Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2.
Membedakan siswa.[37]
Examples
Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh.
Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
1.
Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
2.
Guru menempelkan gambar di papan atau
ditayangkan lewat OHP.
3.
Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan
kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
4.
Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil
diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
5.
Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan
hasil diskusinya.
6.
Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru
mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7.
Kesimpulan.
Kebaikan:
1.
Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2.
Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa
contoh gambar.
3.
Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya.
Kekurangan:
1.
Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk
gambar.
2.
Memakan waktu yang lama.[38]
Lesson
Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa
Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh
Makoto Yoshida. Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan
profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik
mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1.
Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok.
Kerjasama ini meliputi:
a.
Perencanaan.
b.
Praktek mengajar.
c.
Observasi.
d.
Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2.
Salah satu guru dalam kelompok tersebut
melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang
dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3.
Guru yang telah membuat rencana pembelajaran
pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek
mengajar terlaksana.
4.
Guru-guru lain dalam kelompok tersebut
mengamati proses pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang
telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5.
Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang
telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap
pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam
tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran
berikutnya.
6.
Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan
pada kelas/pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).
Adapun
kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
1.
Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni,
bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
2.
Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.[39]
[2] Wina sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 238
[3] Ibid,
h. 240
[4] Ibid,
h. 243
[5] Udin S.
Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2007), h. 20
[6] Ibid,
h. 22
[8] Wina sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), h. 242
[9] Ibid,
h. 244
[10] Udin S.
Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, h. 4.3
[11] Wina sanjaya, Kurikulum
dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), h. 246
[12] Udin S.
Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, h. 9
[13] Ibid,
h.10
[14] Ibid,
h. 10
[15] Ibid,
h.10
[16] Ibid,
h.10
[17] Ibid,
h. 10
[18] Ibid,
h. 11
[19] Ibid,
h. 11
[20] Ramayulis, Metodologi
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 189
[21] Wijaya Kusumah, Aplikasi Model Desain
Pembelajaran di Sekolah, (http://wijayalabs.wordpress.com/2008/07/11/aplikasi-model-desain-pembelajaran/,
Diakses: 28 Januari 2012)
[22] Ibid,
(Diakses: 28 Januari 2012)
[23] Ibid,
(Diakses: 28 Januari 2012)
[24] Ibid,
(Diakses: 28 Januari 2012)
[25] Ibid,
(Diakses: 28 Januari 2012)
[29] Hamdani, Strategi
Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 87
[30] http://gurupkn.wordpress.com/category/pembelajaran/model-model/page/3/,
(Diakses: 28 Januari 2012)
[31] Hamdani, Strategi
Belajar Mengajar, h. 87
[32] Ibid,
h. 88
[33] Ibid,
h. 89
[34] Ibid,
h. 89
[35] Ibid,
h. 90-92
[36] Ibid,
h. 92-93
[37] Ibid,
h. 93
[38] Ibid,
h. 94
[39] Ibid,
h. 94-95
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), h. 87
http://aaghien.wordpress.com/2009/05/28/macam-macam-teori-belajar/,
(Diakses: 28 Januari 2012)
http://gurupkn.wordpress.com/category/pembelajaran/model-model/page/3/,
(Diakses: 28 Januari 2012)
http://www.mitrapulsa.com/modelmengajar.html,
(Diakses: 28 Januari 2012)
Kusumah,
Wijaya, Aplikasi Model Desain Pembelajaran di Sekolah, (http://wijayalabs.wordpress.com/2008/07/11/aplikasi-model-desain-pembelajaran/,
Diakses: 28 Januari 2012)
Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2008), h. 189
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), h. 238
Winataputra, Udin S., dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar