Senin, 05 Maret 2012

TEORI-TEORI BELAJAR, JENIS-JENIS BELAJAR, dan MODEL-MODEL MENGAJAR


TEORI-TEORI BELAJAR, JENIS-JENIS BELAJAR, dan
MODEL-MODEL MENGAJAR
Oleh: ZAIJONI

A.    Teori-Teori Belajar
Banyak teori belajar yang digunakan para guru untuk berbagai keperluan belajar dan proses pembelajaran.
            1.     Teori belajar Behavioristik
Teori belajar ini pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah ,tetapi instruksi singkat yang dikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.[1]
Teori-teori belajar yang termasuk ke dalam kelompok Behaviristik ini di antaranya adalah:
a.       Teori belajar Koneksionisme, dengan tokohnya Edward L. Thorndike (1874-1949).
Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.[2]
b.      Teori belajar Classical Conditioning, dengan tokohnya Ivan Perovich Pavlov (1849-1936).
Menurut pendapat ini bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian. Belajar atau pembentukan prilaku perlu dibantu dengan kondisi tetentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbhkan tingkah laku itu.[3]
c.       Teori belajar Operant Conditioning, dengan tokohnya B.F. Skinner.
Menurut pendapat ini, bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau dipecah-pecah menjadi bagian-bagian atau komponen tingkah laku yang spesifik. Selanjutnya agar terbentuk pada tingkah laku yang diharapkan, pada setiap tingkah laku yang spesifik yang telah direspon, perlu diberikan hadiah agar tingkah laku itu terus- menerus diulang, serta untuk memotivasi agar berlanjut kepada komponen tingkah laku selanjutnya sampai akhirnya pada pembentukan tingkah laku puncak yang diharapkan.[4]
d.      Teori belajar Systematic Behavior, dengan tokohnya Clark L. Hull (1884-1952).
Menurut Hull mengasumsikan bahwa hasil belajar terhadap bentuk-bentuk prilaku yang sederhana.[5]
e.       Teori belajar Contiguous Conditioning, dengan tokohnya Edwin R. Guthrie (1886-1959).
Menurut teori ini, pertama proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti dengan suatu gerakkan, pada saat pengulangan berikutnya cendrung diikuti lagi oleh gerakkan tersebut. Kedua pola stimulus mempunyai korelasi atau keterkaitan yang tinggi dengan respon yang ditimbulkannya pertama kali.[6]
            2.      Teori belajar Kognitif
Menurut teori ini, proses belajar akan belajar dengan baik bila materi pelajaran yang beradaptasi (berkesinambungan)secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. Dalam teori ini ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses pembelajaran ini bejalan tidak sepotong-sepotong atau terpisah-pisah melainkan bersambung-sambung dan menyeluruh.  Teori belajar kognitif ini guru bukanlah sumber belajar utama dan bukan kepatuhan siswa yang dituntut dalam refleksi atas apa yang diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Evaluasi belajar bukan pada hasil tetapi pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasi pengalamanya.[7]
Teori-teori belajar yang termasuk ke dalam kelompok kognitif  ini di antaranya adalah:
a.       Teori Gestalt, dengan tokohnya Kurt Koffka, Wolfgang Kohler dan Max Wetheimer.
Menurut teori ini, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan.[8]
b.      Teori Medan (Field Theory), dengan tokohnya Kurt Lewin.
Menurut teori ini, belajar adalah proses pemecahan masalah.[9]
c.       Teori Organismik, dengan tokohnya Wheeler.
d.      Teori Humanistik, dengan tokohnya Maslow dan Rogers.
Belajar merupakan suatu proses dimana siswa mengembangkan kemampuan pribadi yang khasdalam bereaksi terhadap lingkungan sekitar. Dengan kata lain, siswa tersebut mengembangkan kemampuan terbaik dalam diri pribadinya.[10]
e.       Teori Kontruktivistik.
Belajar menurut teori kontruktivistik bukanlah sekedar menghapfal akan tetapi, proses mengkontruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkontruksi yang dilakukan setiap individu.[11]

B.     Jenis-Jenis Belajar
             1.      Belajar Isyarat (Signal Learning)
Belajar melalui isyarat adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena adanya tanda atau isyarat. Misalnya berhenti berbicara ketika mendapat isyarat telunjuk menyilang mulut sebagai tanda tidak boleh rebut.[12]
            2.      Belajar Stimulus Respon (Stimulus-Response Learning)
Belajar Stimmulus-Respon terjadi pada diri individu karena ada ransangan dari luar. Misalnya menendang bola ketika ada bola didepan kaki, berbaris rapi karena ada komando, berlari kencang karena mendengar anjing menggonggong.[13]
            3.      Belajar Rangkaian (Chaining Learning)
Belajar terjadi melalui perpaduan berbagai proses stimulus respon yang telah dipelajari sebelumnya sehingga melahirkan perilaku yang segera atau spontan seperti konsep merah-putih, panas-dingin, dan ibu-bapak.[14]
            4.      Belajar Asosiasi Verbal (Verbal Association Learning)
Belajar asosiasi verbal terjadi bila individu telah mengetahui sebutan bentuk dan dapat menangkap makna yang bersifat verbal. Misalnya perahu itu seperti badan itik, kereta api seperti kaki seribu, dan wajahnya seperti bulan kesiangan.[15]
            5.      Belajar Membedakan (Discrimination Learning)
Belajar diskriminasi terjadi bila individu berhadapan dengan benda, suasana, atau pengalaman yang luas dan mencoba membeda-bedakan hal-hal yang jumlahnya banyak. Misalnya membedakan jenis tumbuh-tumbuhan atas urat daunnya.[16]
            6.      Belajar Konsep (Concept Learning)
Belajar konsep terjadi bila individu menghadapi berbagai fakta atau data yang kemudian ditafsirkan ke dalam suatu pengertian atau makna yang abstrak. Misalnya binatang, tumbuh-tumbuhan dan manusia.[17]
            7.      Belajar Hukum atau Aturan (Rule Learning)
Belajar aturan/hukum terjadi bila individu menggunakan beberapa rangkaian peristiwa atau perangkat data yang terdahulu atau yang diberikan sebelumnya dan menerapkan atau menarik kesimpulan dari data tersebut menjadi suatu aturan. Misalnya ditemukan bahwa benda memuai bila dipanaskan.[18]
            8.      Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving Learning)
Belajar pemecahan masalah terjadi bila individu menggunakan bebagai konsep atau prinsip untuk menjawab suatu pertanyaan. Misalnya mengapa harga bahan bakar minyak naik.[19]

C.    Model-Model Mengajar
1.      Model PPSI
Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional (PSSI) dikembangkan oleh Badan Pengembang Pendidikan (BPP) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1972.[20]
2.      Model Rekontruksi kuliah
Model ini diciptakan oleh Tjipto Utomo, dan Kees Ruijjter, dan diberi nama “rekontruksi kuliah/kursus” karena ditujukan untuk memperbaiki kuliah yang sudah berjalan di ITB.[21]
3.      Model Briggs dan Wager
Model ini khusus dibuat untuk kegunaan seseorang tenaga pengajar untuk keperluannya di kelas.[22]
4.      Model Gerlach dan Ely
Menurut Gerlach dan Ely langkah awal berupa spesifikasi isi dan tujuan merupakan langkah yang simultan dan merupakan kegiatan interaktif.[23]
5.      Model Kemp
Model ini dapat digunakan pada SD sampai perguruan tinggi.[24]
6.      Model Gentry
Disain pembelajaran model Gentry dikenal dengan singkatan IPDM (Instructional Project Development and Management) mulai diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Castelle G. Gentry.[25]
7.      Model Information Processing, sebuah model mengajar untuk mengembangkan ranah cipta (kognitif).
Termasuk model information processing adalah Model Peningkatan Kapasitas Berfikir yang diilhami oleh Jean Piaget (1896 – 1980). Penerapan model ini diarahkan pada pengembangan-pengembangan sebagai berikut :
a.       Daya cipta akal siswa
b.      Berpikir kritis siswa
c.       Penilaian mandiri siswa
Langkah-langkah (syntax)
Setelah guru mempersiapkan segala sesuatu yang mendukung penyajiannya, seperti alat peraga, buku sumber dll, ia harus siap melaksanakan tiga macam sintaks model. Langkah-langkah ini biasanya ditempuh dengan menggunakan motede Diskusi dan pemberian tugas yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Langkah konfrontasi. Yaitu guru mengkonfrontasikan atau menghadapkan para siswa pada permasalahan yang menentang, penuh tanda tanya, dan terkadang tak masuk akal. Caranya ialah dengan menajukan pertanyaan yang pelik tetapi masih setara dengan perkembangan ranah kognitif siswa.
2.      Langkah inquiry, merupakan proses pengunaan intelek siswa dalam memperoleh pengetahuan dengan cara menemukan dan mengorganisasikan konsep-konsep ke dalam sebuah tatanan yang menurut siswa tersebut penting (Barlow, 1985). Selama proses inquiry guru perlu memberi peluang kepada siswa agar lebih banyak mengembangkan kreativitas sendiri dalam memecahkan masalah.
3.      Langkah transfer. Pada tahap akhir ini diharapkan kemampuan-kemampuan ranah cipta dan rasa yang sudah dimiliki oleh siswa dapat mempermudah penyelesaian-penyelesaian tugas pembelajaran berikutnya. Selain itu, kiat kognitif siswa dalam memecahkan masalah diharapkan dapat memberi dampak positif  atau dapat digunakan lagi untuk memecahkan masalah-masalah baru (Lawson, 1991).[26]
8.      Model personal (pengembangan pribadi)
Model personal berorientasi pada pengembangan pribadi siswa dengan lebih banyak memperhatikan kehidupan ranah rasa, terutama fungsi emosionalnya. Model personal lebih ditekankan pada pembentukan dan pengorganisasian realitas kehidupaan lingkungan. Diharapkan dengan model ini proses belajar-mengajar dapat menolong siswa dalam mengembangkan sendiri hubungan yang produktif dengan lingkungannya.
Model personal lebih bersifat bimbingan dan penyuluhan dalam mengantisipasi atau mengatasi kesulitan belajar siswa, juga untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar siswa yang dianggap bermasalah.
Teknik yang lazim digunakan untuk mengimplementasikan model personal adalah teknik wawancara. Dalam wawancara ini siswa dibebaskan menjawab dan mengekspresikan ide dan perasaan kepada guru pembimbing sehubungan dengan masalah yang sedang dialami. Sebaliknya, guru yang berfungsi sebagai pembimbing sangat dianjurkan untuk bersikap empatik, dalam arti menunjukkan respons ranah cipta dan rasa yang penuh pengertian terhadap emosi dan perasaan siswa (Reber, 1988)
Langkah-langkah (syntax)
1.      Menentukan situasi yang membantu. Tahapan ini dilakukan pada wawancara awal. Guru harus pandai-pandai menyusun daftar pertanyaan yang membuka jalan bagi siswa klien untuk mengekspresikan secara bebas hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi. Jadi, tahapan ini lebih bersifat penjajagan masalah.
2.      Mendorong/memotivasi siswa klien untuk mengekspresikan segala perasaan yang ada, baik yang bersifat positif maupun negatif.
3.      Mengembangkan insight, dalam arti mengerti dan menyadari sendiri tentang arti, sebab, dan akibat perilakunya pada masa lalu yang bermasalah. Peranan guru dalam hal ini memberi akses keterusterangan siswa klien, agar jenis masalah yang akan dipecahkan pada langkah selanjutnya dapat ditentukan rumusannya.
4.      Memotivasi siswa klien sambil membantuk membuat keputusan tentang jenis masalah dan membuat rencana pemecahan masalah tersebut. Dalam hal ini, yang dilakukan guru adalah menawarkan alternatif-alternatif penentuan jenis masalah dan prosedur pemecahannya untuk dijadikan acuan siswa tersebut dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Jadi yang mengatasi masalah bukan guru pembimbing melainkan siswa klien itu sendiri.
5.      Memotivasi siswa klien untuk mengambil keputusan mengenai jenis masalah dan tindakan-tindakan positif. Guru pembimbing tinggal memantau pelaksanaan tindakan-tindakan siswa tersebut sambil bersiap siaga membantu menyingkirkan atau mengurangi hambatan yang mungkin merintangi tindakan positif siswa.[27]
9.      Model behavioral (pengembangan perilaku)
Model behavioral direkayasa atas dasar kerangka teori perilaku yang dihubungkan dengan proses belajar mengajar. Aktivitas mengajar, menurut teori ini harus ditujukan pada timbulnya perilaku baru atau berubahnya perilaku siswa ke arah yang sejalan dengan harapan. Di antara model mengajar behavioral adalah mastery learning (model belajar tuntas). Model ini pada dasarnya merupakan pendekatan mengajar yang mengacu pada penetapan kriteria hasil belajar. Kriteria tingkat keberhasilan belajar ini meliputi :
1)      Pengetahuan
2)      Konsep
3)      Keterampilan
4)      Sikap dan nilai.
Langkah-langkah (syntax)
1.      Langkah orientasi. Pada tahap pertama ini guru dianjurkan menyusun framework (kerangka kerja pengajaran). Dalam kerangka tersebut ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
a)      pokok bahasan materi pelajaran
b)      Keterampilan yang harus dikuasai siswa setelah mempelajari materi pelajaran.
c)      tugas dan tanggung jawab murid dalam melakukan belajar.
2.      Langkah penyajian. Pada tahap kedua guru menjelaskan konsep konsep yang terdapat dalam pokok bahasan, serta mendemonstrasikan keterampilan yang berhubungan dengan materi pelajaran.
3.      Langkah strukturisasi latihan. Pada tahap ketiga ini guru memperlihatkan contoh-contoh mempraktikkan keterampilan sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan pada waktu penyajian materi. Dianjurkan untuk memakai media seperti video tape recorder, OHP, LCD atau gambar-gambar agar lebih mudah ditangkap oleh siswa.
4.      Langkah praktik. Pada tahap keempat ini guru menginstruksikan kepada para siswa untuk mempraktikkan keterampilan yang telah diajarkan. Dalam hal ini guru cukup memonitar praktik yang dilakukan oleh siswa apakah sudah benar sesuai dengan teori yang diajarkan.
5.      Langkah praktik bebas. Pada tahap terakhir ini guru dapat memberi kebebasan kepada para siswa untuk mempraktikkan sendiri keterampilan yang telah dikuasai. Hal ini bisa diterapkan bila siswa telah mengusai meteri dengan tingkat akurasi (ketepatan) keterampilan minimal 90 persen.
Sebagai catatan, bahwa model mastery learning itu sangat tepat untuk mengajarkan keterampilan yang memerlukan aplikasi fungsi-fungsi jasmani (ranah cipta) seperti pelajaran olah raga, senam, pelajaran shalat dll. Akan tetapi, guru perlu menyadari kelemahan model belajar tuntas tersebut, lantaran lebih banyak mengembangkan ranah karsa dan sedikit mengembangkan ranah cipta. Sedangkan ranah rasa hampir tak tersentuh. Maka guru harus kreatif untuk menggunakan model mengajar lainnya sebagai upaya pengkombinasian yang dapat menutupi kekurangan model masteri learning tersebut.[28]
Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.
Kelebihan metode Role Playing:
Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.
1.      Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
2.      Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
3.      Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
4.      Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.[29]
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1.      Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2.      Berpikir dan bertindak kreatif.
3.      Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4.      Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5.      Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6.      Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
7.      Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
1.      Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
2.      Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.[30]
Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah:
1.      Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
2.      Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
3.      Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
4.      Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
5.      Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
1.      Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
2.      Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
3.      Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
1.      Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
2.      Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3.      Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini.[31]
Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
1.      Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2.      Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
3.      Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4.      Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
5.      Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
6.      Kesimpulan guru.
7.      Penutup.
Kelebihan:
1.      Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
2.      Setiap siswa mendapat peran.
3.      Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
1.      Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
2.      Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).[32]
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
1.      Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2.      Menyajikan materi sebagai pengantar.
3.      Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4.      Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5.      Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6.      Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7.      Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1.      Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2.      Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:
1.      Memakan banyak waktu.
2.      Banyak siswa yang pasif.[33]
Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:
1.      Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
2.      Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3.      Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
4.      Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
5.      Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
6.      Kesimpulan.
Kelebihan:
1.      Setiap siswa menjadi siap semua.
2.      Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
3.      Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
1.      Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
2.      Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.[34]
Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan.
Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.      Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
b.      Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c.       Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
d.      Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
e.       Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
f.        Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.[35]
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1.      Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2.      Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3.      Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4.      Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5.      Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40.[36]
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
1.      Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2.      Guru menyajikan pelajaran.
3.      Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4.      Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5.      Memberi evaluasi.
6.      Penutup.
Kelebihan:
1.      Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2.      Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1.      Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2.      Membedakan siswa.[37]
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
1.      Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2.      Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
3.      Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
4.      Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
5.      Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6.      Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7.      Kesimpulan.
Kebaikan:
1.      Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2.      Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3.      Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1.      Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2.      Memakan waktu yang lama.[38]
Lesson Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida. Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1.      Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a.       Perencanaan.
b.      Praktek mengajar.
c.       Observasi.
d.      Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2.      Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3.      Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.
4.      Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5.      Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran berikutnya.
6.      Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
1.      Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
2.      Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.[39]



[2] Wina sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 238
[3] Ibid, h. 240
[4] Ibid, h. 243
[5] Udin S. Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 20
[6] Ibid, h. 22
[8] Wina sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), h. 242
[9] Ibid, h. 244
[10] Udin S. Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, h. 4.3
[11] Wina sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), h. 246
[12] Udin S. Winataputra, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, h. 9
[13] Ibid, h.10
[14] Ibid, h. 10
[15] Ibid, h.10
[16] Ibid, h.10
[17] Ibid, h. 10
[18] Ibid, h. 11
[19] Ibid, h. 11
[20] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 189
[21] Wijaya Kusumah, Aplikasi Model Desain Pembelajaran di Sekolah, (http://wijayalabs.wordpress.com/2008/07/11/aplikasi-model-desain-pembelajaran/, Diakses: 28 Januari 2012)
[22] Ibid, (Diakses: 28 Januari 2012)
[23] Ibid, (Diakses: 28 Januari 2012)
[24] Ibid, (Diakses: 28 Januari 2012)
[25] Ibid, (Diakses: 28 Januari 2012)
[29] Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 87
[31] Hamdani, Strategi Belajar Mengajar,  h. 87
[32] Ibid, h. 88
[33] Ibid, h. 89
[34] Ibid, h. 89
[35] Ibid, h. 90-92
[36] Ibid, h. 92-93
[37] Ibid, h. 93
[38] Ibid, h. 94
[39] Ibid, h. 94-95

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Hamdani, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 87



http://www.mitrapulsa.com/modelmengajar.html, (Diakses: 28 Januari 2012)

Kusumah, Wijaya, Aplikasi Model Desain Pembelajaran di Sekolah, (http://wijayalabs.wordpress.com/2008/07/11/aplikasi-model-desain-pembelajaran/, Diakses: 28 Januari 2012)

Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), h. 189

Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 238

Winataputra, Udin S., dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 20

Tidak ada komentar: